Cerita Tiga Orang Tuli




Suatu hari, ada seorang penggembala domba yang tuli. Penggembala domba ini biasanya pergi pada pagi hari dan pulang sebelum fajar terbenam. Siang harinya, istri dari penggembala domba ini akan mengantar makanan sebagai santap siang.

Namun siang ini, setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama, sang istri tidak juga datang. Karena ia kelaparan, ia berencana untuk menghampiri istrinya di rumah dan menitipkan domba-dombanya pada seorang pemotong rumput yang ada di seberang jalan.

Ia berteriak “Wahai pemotong rumput, tolong aku. Aku tuli dan tidak bisa mendengar, aku ingin menitipkan domba-dombaku ini kepadamu. Tolong jaga hingga aku kembali nanti.”

Karena pemotong rumput juga tuli dan melihat ada seseorang berteriak dari seberang, ia kira orang tersebut justru akan merepotkannya “Tugasku hanya memotong rumput, aku tuli dan hanya akan fokus kepada rumput ini saja.”

Tanpa mengerti satupun kata yang diucapkan oleh pemotong rumput, penggembala domba membalas “terimakasih, kau baik sekali! Semoga Tuhan akan membalasmu.” Penggembala domba pun meninggalkan domba-dombanya.

Sekembalinya dari rumah dan mendapati bahwa domba-dombanya tidak ada yang hilang atau terluka, ia berencana untuk memberikan seekor domba yang pincang sebagai tanda terima kasih. “Lihatlah, aku membawakan domba untuk makan malammu ini. Kakinya pincang dan aku memang berencana untuk memotongnya. Terimalah, ini adalah ucapan terima kasihku.”

Karena tidak bisa mendengar satu katapun, pemotong rumput langsung membalas dengan marah “bukan aku yang melukai dombamu. Aku hanya mencoba untuk menyelesaikan tugasku disini.

Tolong jangan ganggu aku.” Namun penggembala domba tetap menyodorkan dombanya dan  bersikeras agar domba ini dapat dibawa oleh pemotong rumput.

Tak lama kemudian, ada seorang penunggang kuda yang lewat. Kedua pria tua yang tuli ini langsung berteriak bersaut-sautan “tolonglah aku. Aku ini tuli, aku hendak memberikan dombaku ini kepadanya. Mengapa ia kelihatannya justru marah-marah?” Sementara pemotong rumput berkata “wahai penunggang, bukan aku yang melukai dombanya. Aku memotong rumput sedari tadi. Aku ini tuli namun ia tidak juga mengerti.”

Penunggang kuda ini ternyata juga tuli. Ia kebingungan karena dihadang oleh 2 orang dengan wajah penuh amarah. Kemudian ia berkata “maafkan aku, aku tidak tahu kalau kuda ini adalah milik kalian. Aku hanya menemukannya tersesat disini, jadi kutunggangi karena aku telah berjalan jauh.” Mereka bertiga yang sama-sama tuli saling pandang dan terus menerus beradu argumen.

Tiba-tiba, ada seorang pria tua yang bisu. Ia menghampiri mereka bertiga tanpa mengatakan satu patah katapun. Ia hanya melihat satu-persatu dari pria yang sedang beradu argumen dipinggir jalan tesebut. Karena seram, penggembala domba langsung meninggalkan kerumunan, disusul oleh penunggang kuda dan pemotong rumput.


Komunikasi yang baik akan terjadi jika ada yang mendengar dan ada yang berbicara. Kita terus menerus meminta berkat di dalam doa kita kepada Tuhan tanpa mendengarkan apa yang Tuhan mau di dalam hidup kita ini. Padahal, bagaimana Tuhan mau membentuk pribadi kita jika tidak ada komunikasi dua arah antara Tuhan dan kita?

“Untuk mengalami Tuhan berbicara ke dalam hati adalah suatu pengalaman yang penuh keagungan, sebuah pengalaman yang orang-orang mungkin tidak mendapatkannya jika mereka memonopoli percakapan dan tidak pernah berhenti untuk mendengar respons Tuhan.” – Charles Stanley

Comments

Popular Posts