Bukan Cangkirnya, Tapi Kopinya
ILUSTRASI kehidupan tentang kopi dan cangkir ini pertama kali saya dengar di kota saya Pematangsiantar Juli 2009 waktu yang lalu dari mimbar gereja pada pernikahan keponakan saya. Karena menarik, saya lacak dengan mesin google. Ternyata bukan main. Saya menemukan tidak kurang dari 65,9 juta entries dalam bahasa Inggris dan 576 dalam bahasa Indonesia. Yang berbeda disana sini adalah implikasi membaca “kopi”dan “cangkir”.
Ceritanya sendiri demikian . Sekelompok alumni, yang telah pada mapan dalam karir mereka, berkumpul dan mengadakan kunjungan pada profesor universitas mereka. Percakapan segera beralih menjadi keluhan tentang stres dalam pekerjaan dan kehidupan.
Menawarkan tamu-tamunya kopi, profesor pergi ke dapur dan kembali dengan seteko besar kopi dan bermacam-macam cangkir - porselin, plastik, gelas, kristal, beberapa terlihat biasa-biasa, beberapa tampak mahal dan indah. Lalu memberitahu mereka untuk self service, mengambil sendiri kopi panas yang disediakan.
Sambil ngobrol, ketika masing-masing eks mahasiswanya telah memiliki secangkir kopi di tangan, profesor berkata: Jika Anda perhatikan, semua cangkir mahal yang tampak bagus telah diambil. Tinggal cangkir yang sederhana dan tampaknya murah. Adalah lazim Anda untuk menginginkan yang terbaik bagi diri Anda sendiri, namun itulah sumber masalah dan stres Anda.
Apa yang Anda sekalian inginkan sebenarnya adalah kopi, bukan cangkir. Tapi Anda dengan sadar telah mengambil cangkir terbaik, dan mulai memperhatikan cangkir yang diambil orang lain.
Sekarang perhatikan hal ini, lanjut sang professor: Kehidupan bagai kopi, sedangkan pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya - ia hanyalah alat untuk mendukung dan menampung kehidupan. Apapun yang kita miliki tidak dapat mengganti kualitas kehidupan yang sesungguhnya. Seringkali, karena berkonsentrasi hanya pada “cangkir” – hidup yang lahiriah, the outer life. Dan kita gagal untuk menikmati “kopi” – hidup itu sendiri, the real inner life, yang hanya ada dari Penciptanya.
Impikasinya yang saya lihat, kebenaran inilah yang oleh C.W. Lewis sebagai mengatakan, “God cannot give us a happiness and peace apart from Himself, because it is not there. There is no such thing”. (Tuhan tidak dapat memberikan kebahagiaan dan damai, terpisah dari Diri-Nya, karena hal itu memang tidak ada. Dan tidak ada kebahagiaan dan damai tanpa Dia). Tentang hal ini tokoh Gereja Agustinus yang hidup pada abad kelima mengakatakan: Tuhan, Engkau telah menciptakan kami untuk Dirimu, dan hati kami tidak akan tenang sampai mendapat perhentian didalam Engkau.
GBU.
Singapore November 15, 2009
Comments
Post a Comment