Pemberian Yang Dikembalikan



SUATU ketika ada seorang laki-laki yang temperamen dan sangat suka marah pada orang lain. Ia bertemu dengan kakek-kakek dan tanpa alasan yang jelas, ia memarah-marahi kakek itu.

Tak diduga, kakek itu menghadapi sang pemuda dengan sangat tenang. Ia mendengarkan kemarahan pemuda itu tanpa berkata sekecap pun. Setelah berbicara dan marah dengan panjang lebar, akhirnya pemuda itu pun diam.

Setelah suasana agak tensng, sang kakek bertanya pada pemuda itu, "Jika seseorang memberimu sesuatu namun kamu tidak menerimanya, jadi miliki siapakah pemberian itu?" Setelah berpikir sejenak, pemuda itu berkata, "Tentu akan tetap jadi milik orang yang memberi."

"Begitu juga dengan kata-katamu tadi. Semua kemarahanmu itu tak aku terima. Jadi semua emosi negatifmu itu tetap milikmu. Kamu harus menyimpannya sendiri. Aku khawatir kamu nanti harus menanggung akibatnya. Kata-kata kasar hanya membuahkan penderitaan," jelas kakek itu.

Mendengar penjelasan itu tadi, sang pemuda hanya terheran-heran. Ia sama sekali tak pernah mendapat jawaban seperti itu dari orang lain. Merasa malu, pemuda itu akhirnya meminta maaf pada sang kakek tua.

Kakek itu berkata lagi, "Orang yang marah dan mengutuk orang lain sama seperti meludahi langit. Ludah itu akan jatuh dan mengotori wajahnya sendiri." 


Itulah amarah. Amarah sesungguhnya membuahkan berbagai hal yang merugikan diri sendiri termasuk kepahitan kalau respon terhadapnya salah.

Amarah itu bukan dengan sendirinya dosa, kata teolog R.C. Sproul. Tapi, lanjutnya mungkin kesempatan untuk (jatuh kedalam) dosa. Masalah pengendalian-diri adalah soal bagaimana kita berurusan dengan kemarahan. Kekerasan, kemarahan, kepahitan, kebencian, permusuhan, dan bahkan menarik diri dan bungkam, semuanya merupakan tanggapan/respon berdosa terhadap amarah”.


Bahan: Pemberian yang Dikembalikan, Intisari online, 11 September 2016; mutiarakatakristiani.wordpress.com

Comments

Popular Posts