Kisah Taplak Meja Tua

 ᴋɪsᴀʜ ᴛᴀᴘʟᴀᴋ ᴍᴇᴊᴀ


- Tidak ada yang terjadi hanya kebetulan


SEORANG pendeta diberi tugas membuka gereja di pinggir kota Brooklyn. 

Mereka renovasi gereja  dari kursi, lukisan dan plesteran dinding. 

Namun turun hujan badai selama  dua hari hingga plesteran dinding depan roboh tepat di belakang mimbar. 

Pendeta dengan sedih membersihkan runtuhan  kotoran di lantai dan sempat berpikir menunda Kebaktian Natal yang direncanakannya.

Perjalanan pulang dia melihat ada pasar murah untuk amal. 

Dia lihat-lihat dan menemukan taplak meja indah buatan tangan warna gading dan sangat halus. 

Gambar salib tepat di tengah bordiran. 

Ukuran taplak sepertinya pas dengan lubang plesteran yang ambrol.

Pendeta segera membelinya dan ....... kembali ke gereja.

Salju mulai turun. 

Pendeta melihat se orang wanita tua mengejar bus tapi ketinggalan, jadi diajaknya wanita tua itu menunggu di gereja sambil menghangatkan badan karena bus berikut baru datang 45 menit kemudian.

Wanita tua itu duduk di kursi. 

Pendeta sibuk memasang taplak menutupi lubang dinding gereja. 

Ternyata benar, taplak meja tadi menutupi lubang dengan sangat indah dan... pas!

Wanita tua melihat seksama taplak itu lalu  tanpa ekspresi bertanya:

"Di mana anda dapatkan taplak meja itu?".

Pendeta lalu cerita. 

Wanita tua itu minta pendeta mencek apakah sudut kanan taplak ada inisial EBG. 

Dan ternyata ada. 

Wanita itu kaget karena  sudah 35 tahun yang lalu taplak itu ia buat - di Austria.

Wanita itu lalu cerita, sebelum Perang - maksudnya Perang Dunia II, ia dan suaminya adalah keluarga berada dan bahagia di Austria. 

Saat NAZI berkuasa ia terpaksa migrasi. 

Suaminya akan menyusul minggu depannya, namun suaminya tertangkap, dikirim ke penjara dan wanita tua itu tidak pernah lagi melihat suaminya.

Pendeta ingin mengembalikan taplak tersebut namun si wanita tua bilang lebih baik untuk gereja saja. 

Pendeta lalu memaksa mengantar wanita tua itu karena hanya itu yang bisa ia lakukan. 

Wanita itu tinggal di Staten Island NY.

Acara malam Natal tiba dan berjalan sangat indah. 

Akhir acara pendeta menyalami semua orang dan banyak yang senang dengan pelayanan mereka dan bilang akan kembali lagi.

Namun ada seorang pria tua masih duduk di bangku gereja dengan pandangan kosong. 

Pendeta bertanya mengapa ia tidak pulang.

Pria tua itu bertanya darimana pendeta mendapatkan taplak meja yang menutup dinding depan gereja, karena pria tua itu merasa taplak itu sangat identik dengan salah satu taplak yang pernah dibuat istrinya bertahun-tahun yang lalu saat mereka tinggal di Austria. 

Lalu bercerita bahwa istrinya dan ia terpisah karena ia tertangkap NAZI dan dipenjara. 

Sejak saat itu ia tak pernah lagi melihat istri ataupun rumahnya.

Pendeta itu lalu bertanya apakah si pria tua bersedia diajak ke Staten Island. 

Lalu pergilah mereka ke tempat wanita tua yang diantar si pendeta tiga hari sebelumnyanya. 

Dia bantu si pria tua  menaiki tiga lantai apartemen wanita tua itu, mengetuk pintu......

Dan tahun itu ia melihat reuni Natal terindah yang tak pernah ia bayangkan....


Ini kisah nyata? 

Pertama kali kisah ini muncul di majalah Reader Digest edisi Desember 1954 dengan judul "The Gold and Ivory Tablecloth”; ia ditulis oleh Rev. Howard C. Schade, pendeta the First Reformed Church di Nyack, New York.

Sejak itu sering diangkat menjadi Kisah Natal, dan menyebar dengan media sosial.

Benar atau tidak, ini adalah satu cerita yang luar biasa, yang mengandung banyak unsur yang membuatnya begitu memikat: Pasangan suami isteri yang kesepian, dipisahkan oleh kejahatan terbesar (yaitu, NAZI), masing-masing tidak menyadari nasib yang lain, dipertemukan kembali di hari Natal yang suci oleh seorang pria yang bersahaja.

Kunci reuni mereka adalah objek biasa yang tidak ada harganya bagi orang lain -- taplak meja tua, dan rangkaian peristiwa terungkap karena serangkaian keadaan yang luar biasa kebetulan: Andai saja angin topan tidak membuat lubang di dinding gereja; seandainya ada orang lain yang membeli taplak meja; seandainya wanita itu tidak berdiri di luar gereja pada saat yang tepat; jika saja dia sudah lama hilang. Jika suami tidak secara kebetulan menjadi anggota gereja tersebut, pasangan itu mungkin tidak akan pernah bertemu lagi. 

Tentu saja, bagi kita yang percaya pada mujizat, semua ini bukanlah kebetulan belaka; itu sengaja diarahkan melalui campur tangan Tuhan yang penuh kasih.

Jangan pernah kehilangan iman dan pengharapan dalam Dia Yang Maha -- maha dalam semua.

Pastikan diri anda mengasihi TUHAN-mu seperti laki-laki tua dalam penantian dan pencarian isterinya. Dan TUHAN menjawab doa mereka pada waktu TUHAN.

- - - - - - - 


Sumber: The Gold and Ivory Tablecloth, Snopes.com, 


Comments

Popular Posts